Tauhid dan Macamnya (Bagian 3-habis)

 

Ketiga: Tauhid Asma’dan Sifat

 

 

Artinya pengesaan Allah Azza wa Jalla dengan asma’ dan sifat yang menjadi milik-Nya. Hal ini mencakup dua hal:

 

 

  1. Penetapan, artinya kita harus menetapkan seluruh asma’ dan sifat bagi Allah, sebagaimana yang dia tetapkan bagi Diri-Nya dalam kitab-Nya atau sunnah Nabi-Nya.

  2. Penafian permisalan, bahwa kita tidak menjadikan sesuatu yang semisal dengan Allah dalam asma’ dan sifat-Nya, sebagaimana firman-Nya, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11).

Ayat ini menunjukkan bahwa semua sifat Allah tidak diserupai oleh siapa pun dari makhluk. Meskipun ada persekutuan dalam dasar makna, tapi toh hakikat keadaannya tetap berbeda. Siapa yang tidak menetapkan apa yang ditetapkan Allah bagi diri-Nya berarti dia oarang yang menggugurkan, seperti apa yang dilakukan Fir’aun. Siapa yang menetapkannya dengan disertai penyerupaan, berarti dia mirip dengan orang-orang musyrik yang menyembah selain Allah disamping Allah. Siapa yang menetapkan tanpa penyerupaan, berarti dia termasuk golongan muwahhiddin.

 

Karena jenis tauhid inilah ada sebagian umat Islam yang tersesat, hingga mereka terpecah menjadi beberapa golongan. Diantara mereka ada yang mengambil jalur pengguguran, sehingga mereka menggugurkan dan menafikan sifat-sifat, dengan menyatakan sifat-sifat itu dihindarkan dari Allah. Mereka tersesat, karena yang dihindarkan secara hakiki dari-Nya ialah sifat-sifat kekurangan dan aib. Jika perkataan yang dihindarkan dari-Nya maka itu merupakan pembodohan dan penyesatan. Jika seseorang berkata, “Allah tidak mempunyai penglihatan, pendengaran, ilmu dan kekuasaan”, tidak saja merupakan peniadaan sifat-sifat itu dari Allah, tapi itu sama dengan melemparkan aib yang paling tinggi kepada-Nya, mensifati perkataan dengan pembodohan dan penyesatan, karena seringkali Allah menyatakan dan menetapkan dalam firman-Nya, سَمِيْعٌ بَصِيْرٌ atau عَزِيزٌ حَكِيمٌش tau غَفُوْرٌ رَحِيمٌ. jika seseorang menetapkan demikian itu dalam perkataannya, padahal tidak begitu hakikatnya, maka itu merupakan pembodohan dan penyesatan.

 

 

Ada pula orang-orang yang mengambil jalur penyerupaan, dengan anggapan bahwa itu pula yang terjadi dalam pensifatan yang diberikan Allah terhadap Diri-Nya. Mereka itu sesat, karena mereka tidak mensifati Allah sebagaimana mestinya, dengan memberikan aib dan kekurangan kepada-Nya. Pasalnya, mereka menjadikan Dzat yang sempurna dari segala sisi sama dengan yang kurang dari segala sisi.

 

 

Jika penyertaan pengutamaan yang sempurna atas yang kurang sempurna bisa menurunkan bobotnya, seperti yang dikatakan dalam pepatah, “Tidakkah engkau tahu bahwa pedang dapat berkurang bobotnya, jika dikatakan bahwa pedang itu lebih tajam dari tongkat”, lalu bagaimana jika yang sempurna diserupakan dengan yang kurang? Tentu saja ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah Azza wa Jalla. Meskipun orang yang mengugurkan sifat Allah merupakan orang-orang yang kejahatannya paling besar, toh masih banyak orang-orang yang tidak memberikan sifat secara semestinya kepada Allah.

 

 

Yang harus kita lakukan ialah beriman kepada sifat yang diberikan Allah kepada Diri-Nya di dalam kitab-Nya dan seperti disampaikan Rasul-Nya, tanpa ada pengubahan, peniadaan, pengguguran, dan penyerupaan. Seperti yang dikatakan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan para Ulama lainnya.

 

 

Pengubahan berlaku dalam Nash, pengguguran berlaku dalam keyakinan, pemotongan berlaku dalam sifat dan juga penyerupaan dalam sifat. Hanya saja penyerupaan ini lebih khusus daripada pemotongan atau pemenggalan. Sebab setiap orang yang menyerupakan adalah orang yang memenggal, dan tidak berlaku sebaliknya. Kita harus membebaskan akidah dari empat perkara ini.

 

 

Yang dimaksudkan pengubahan adalah takwil yang dilakukan orang-orang yang mengubah berbagai nash sifat, karena mereka menamakan diri mereka sebagai ahli takwil, dalam rangka meluweskan jalan yang mereka tempuh, sebab jiwa manusia tidak suka pada istilah pengubahan. Hal ini termasuk pemilihan kata-kata yang menarik dan membuatnya tampak indah dalam pandangan manusia, sehingga mereka tidak mnghindar darinya.

 

 

Padahal hakikat takwil mereka adalah pengubahan, yaitu mengalihkan lafazh dari zahirnya. Dapat kami katakan, jika pengalihan ini ditunjukkan oleh dalil yang shahih, maka itu berarti bukan takwil menurut yang kalian kehendaki, tapi merupakan tafsir. Namun jika tidak ada dalil yang menunjukkannya, maka itu merupakan pengubahan, mengubah kalimat daritempatnya. Mereka itulah orang-orang yang sesat karena jalan iniyang pada akhirnya mereka menetapkan sifat-sifat dengan disertai pengubahan dan pengalihan, sehingga mereka pun sesat, berlainan dengan jalan yang ditempuh Ahlus Sunnah wal Jama’ah.

 

 

Atas dasar ini mereka tidak disifat sebagai kelompok Ahlus Sunnah wal Jama’ah, karena tambahan sebutan mengharuskan adanya penisbatan. Sebutan Ahlus Sunnag wal Jama’ah ialah mereka yang menisbatkan diri kepada As-Sunnah, karena mereka berpegang padanya. Sementara orang-orang yang sesat itu tidak berpegang kepda As-Sunnah karena pengubahan yang mereka lakukan.

 

 

Pen-syarah kitab Ath-Thahawiyah menukil perkataan dari Al-Ghazaly, orang yang dianggap sudah mencapai tataran paling tinggi dalam ilmu kalam, teologi, yang jika seseorang membacanya tentu akan mendapatkan kejelasan kesalahan, kekeliruan dan kebatilan para teolog, yang sebenarnya mereka pun tidak mendapatkan kejelasan tentang urusan mereka.

 

 

Ar-Razy yang juga termasuk pemuka mereka berkata dalam syairnya,

 

Kesudahan mendahulukan akal merupakan cermin kebodohan

Dan usaha kebanyakan orang yang berilmu adalah kesesatan

 

Ruh kita berada dalam ketakutan terhadap badan kita

 

Puncak dunia kita adalah bencana dan malapetaka

 

Kita tidak bisa mengambil manfaat dari pencarian sepanjang usia

 

Perkumpulan kita didalamnya hanyalah apa menurut katanya

 

 

Kemudian Ar-Razy berkata,”Saya sudah memperhatikan jalan teologi dan filsafat, yang menurut penglihatanku, ilmu ini tidak mampu menyembuhkan orang yang sakit, tidak mampu membei minum orang yang dahaga. Saya mendapatkan jalan yang paling dekat ialah jalan Al-Qur’an, yang kubaca dalam ketetapan.

 

 

“(Yaitu Rabb Yang Maha Pemurah, yang bersemayam diatas ‘Arsy.” (Thaha: 5)

 

 

“Kepada-Nyalah perkataan-perkataan yang baik.” (Fathir: 10).

 

 

Artinya, saya mendapatkan. Saya juga membaca penafian,

 

“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.” (Asy-Syura: 11)

 

 

“Sedang ilmu mereka tidak dapat meliputi ilmu-Nya.” (Thaha: 10)

 

 

Artinya, saya menafikan penyerupaan, saya menafikan cakupan ilmu mereka atas ilmu-Nya. Siapa yang mempunyai pengalaman seperti pengalamanku, tentu akan mengetahui seperti yang aku ketahui”. (Dar’u Ta’arudhil-Aqli wan Naqli, 1/159: Al Fatawa, 4/71, Syarhuth-Thahawiyah, 1/244, Thaqabat Asy-Syafi’iyah, 2/82)

 

 

Engkau mendapatkan mereka kebingungan dan kerancuan, tidak yakin dengan urusan mereka sendiri. Sementara engkau mendapatkan orang yang ditunjuki jalan lurus oleh Allah, dalam keadaan tenteram, terbuka dadanya dan tenang sanubarinya. Dia membaca apa yang ada didalam Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya, berupa sifat dan asma’ yang ditetapkan-Nya bagi-Nya. Dalam pandangannya, tidak ada pengabaran yang lebih benar selain dari pengabaran-Nya, tidak ada penjelasan yang lebih gamblang selain dari penjelasan-Nya, sebagaimana firman-Nya,

 

 

“Allah hendak menerangkan (hukum syariat-Nya) kepada kalian.” (An-Nisa’:26)

 

“Allah menerangkan (hukum ini) kepada kalian, supaya kalian tidak sesat.: (An-Nisa’: 176)

 

“Dan, Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu.” (An-Nahl: 89)

 

“Dan, siapakah orang yang lebih benar perkataan(nya) daripada Allah?” (An-Nisa’: 87)

 

“Dan, siaspakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?” (An-nisa’: 122)

 

 

Ayat-ayat ini dan juga yang lainnya menunjukkan bahwa Allah menjelaskan sejelas-jelasnya kepada makhluk, jalan yang mengahantarkan kepada-Nya. Sesuatu yang paling dibutuhkan makhluk ialah penjelasan sesuatu yang berkaitan dengan Allah, dengan asma’ dan sifat-sifatNya, agar Allah disembah berdasarkan Bashirah, karena ibadah kepada sesuatu yang tidak diketahui sifat-sifatNya bahkan yang tidak memiliki sifat, maka ibadah itu sama sekali tidak layak. Jadi engkau harus mengetahui sifat-sifat yang disembah, yang membuatmu kembali dan beribadah kepada-Nya dengan sebenar-benarnya.

 

 

Manusia tidak boleh melampaui batasannya hingga menetapkan bentuk atau penyeerupaan. Sebab jika dia tidak mampu menggambarkan Diri-Nya yang ada dihadapannya, berarti dia tidak mampu menggambarkan hakikat pensifatan Allah terhadap Diri-Nya. Karena itulah Allah melarang manusia memohom dengan menggunakan kata “mengapa” atau “bagaimana”, yang berkaitan dengan asma’ dan sifat Allah.

 

 

Jika jalan ini ditempuh manusia, tentu dia lebih banyak merasakan ketenangan. Inilah keadaan orang-orang salaf. Ada seseorang menemui Al-Imam Malik bin Anas Rahimahullah seraya berkata,” Wahai Abu Abdullah, Allah berfirman,’Rabb Yang Mahapemurah, yang bersemayam diatas ‘Arsy ‘. Bagaimana Dia bersemayam?” Maka Imam Malik menundukkan kepala seraya berkata,”Besemayam-Nya tidak diketahui, caranya tidak dapat dipikirkan, mengimaninya wajib, menanyakannya merupakan bid’ah dan aku tidak melihat dirimu melainkan seorang ahli bid’ah.”

 

 

Sementara pada zaman sekarang kita mendapatkan ada yang berkata,” Allah turun ke langit dunia ketika malam tinggal sepertiganya yang terakhir, pada setiap malam. Hal ini mengharuskan-Nya berada di langit dunia tiap malam. Karena malam berlalu atas semua dunia, berarti pada sepertiga malam itu Allah berpindah dari satu tempat ke tempat lain.”

 

 

Perkataan semacam itu tidak pernah dinyatakan para shahabat. Sekiranya pikiran semacam ini melintas dalam benak orang Mukmin, tentunya Allah menjelaskannya sejak semula atau penjelasan itu disampaikan Rasul-Nya, atau hal itu melintas dalam pikiran seseorang yang akan menanyakannya, lalu pertanyaan ini dijawab, sebagaimana para shahabat yang bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Dimanakah Allah berada sebelum menciptakan langit dan bumi?” maka beliau menjawab pertanyaan ini.

 

 

Pertanyaan yang besar ini menunjukkan bahwa apa pun yang dibutuhkan manusia tentu dijelaskan Allah melalui salah satu dari tiga cara. Adapun untuk menjawab kerumitan tentang hadits turunnya Allah ke langit dunia ini, dapat disampaikan sebagai berikut: selagi sepertiga malam yang terakhir pada bagian bumi yang mengalaminya masih ada, maka Allah benar-benar turun di sana. Sementara di bagian lain Allah tidak turun, sebelum sepertiga yang terakhir atau pertengahan malamnya. Yang pasti, tidak ada sesuatu pun yang menyerupai Allah Azza wa Jalla. Hadits ini menunjukkan bahwa waktu turun berakhir dengan terbitnya fajar.

 

 

Yang harus kita lakukan ialah tunduk sambil berkata.”Kami mendengar, kami taat, kami mengikuti dan kami beriman.” Inilah tugas kita, sehingga kita tidak melampaui Al-Qur’an dan As-Sunnah.

 

 

 

Ditulis ulang dari Al Qaulul Mufid ‘ala Kitabit-Tauhid oleh Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin

 

Edisi Indonesia Syarah Kitab Tauhid jilid 1, penerbit Darul Falah

Kajian tentang artikel ini bisa didownload di halaman download audio-video

 

Leave a comment