Bakti kepada Ibunda

Jangan tanya berapa usianya, karena sejak lahir, ia tidak pernah dibuatkan selembar surat bernama Akta Kelahiran oleh kedua orang tuanya di kampung. Ia lahir dan besar di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Allah mengaruniainya banyak anak. Karena himpitan ekonomi yang mendera ia dan mendiang suaminya memilih hijrah ke kota Makassar, mencoba peruntungan nasib. Guratan usia dan himpitan ekonomi terlihat jelas di wajahnya yang sepertinya tak pernah tersentuh bedak, apalagi lipstik dan wangi-wangian.

Sudah cukup lama ia hidup sendiri, tidak jauh dari perempatan jalan Urip Sumohardjo dan A.P. Pettarani, Makassar. Anak-anaknya, setelah berkeluarga, pergi meninggalkan. Tak ada lagi yang peduli. Dalam kesendiriannya, ia tak mau berpangku tangan apalagi bermalas-malasan. Haram baginya menengadahkan tangan, meminta belas kasihan orang lain, meski hal itu bisa saja dilakukannya. Ia memilih bertahan hidup dengan menjajakan jagung bakar bagi para pengguna jalan. Sebuah nampan lebar, sebotol minyak tanah dan tumpukan kayu bakar tua setia menemaninya. Ia berjualan tak jauh dari rumah reotnya, karena kedua kakinya yang lumpuh, tak mampu lagi menyanggah beban tubuhnya yang mulai renta.

Begitulah tulis bulletin bulanan Muzakki, menggambarkan profil seorang nenek bernama Satturia. Subhanallah, sudah sejak lama saya mengamati beliau tapi baru kemarin saya secara kebetulan mendapatkan profilnya di bulletin Muzakki tersebut. Hampir setiap hari sepulang kerja dari kantor saya lewat di depan jalan tempat dimana beliau menggelar dagangannya, namun saya masih belum bisa mewujudkan niat saya untuk sekedar membantu membeli jagung bakarnya. Ada dua hal yang bisa kita cermati dari kisah hidup nenek satturia ini. Pertama, kegigihannya dalam mencari rezeki dimana nenek satturia walaupun sudah dalam keadaan yang tua renta akan tetapi tetap berusaha mandiri tanpa mengharapkan belas kasihan orang lain. Padahal, di Makassar ini banyak saya jumpai para pengemis yang masih terlihat jauh lebih muda dan jauh lebih segar fisiknya daripada nenek satturia. Wallahu’alam, dengan kedok kaki cacat, borok dan mimik wajah yang mengiba, mereka mengais rezeki dari belas kasihan orang lain. Kedua, tentang durhakanya anak-anak dari nenek satturia. Seperti apa yang telah dituliskan bulletin muzakki tersebut, nenek satturia dalam masa senjanya hidup seorang diri, padahal beliau (seperti telah diberitakan) memiliki banyak anak. Betapa durhakanya anak-anak dari nenek satturia itu (semoga kita terlindung dari sifat-sifat tercela tersebut). Padahal beliau bisa menjadi kunci surga bagi anak-anaknya seperti telah diberitakan dalam sebuah hadits.

Saya tidak akan menyoroti masalah bagaimana sikap seorang muslim agar tidak pernah berputus asa dalam mencari rezeki dari Allah ta’ala. Akan tetapi kali ini saya akan menyoroti tentang kewajiban seorang anak untuk berbakti terhadap orang tua, terutama kepada ibunda.

Perintah Berbakti Kepada Orang Tua

Allah Azza wa Jalla telah memerintahkan kita untuk berbuat baik (berbakti) kepada kedua orang tua kita, Allah subhanahuwata’ala berfirman dalam Al-Qur’an,

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْناً عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

“Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun . Bersyukurlah kepadaKu dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu.” (Luqman: 14)

وَوَصَّيْنَا الْإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ إِحْسَاناً حَمَلَتْهُ أُمُّهُ كُرْهاً وَوَضَعَتْهُ كُرْهاً وَحَمْلُهُ وَفِصَالُهُ ثَلَاثُونَ شَهْراً حَتَّى إِذَا بَلَغَ أَشُدَّهُ وَبَلَغَ أَرْبَعِينَ سَنَةً قَالَ رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَصْلِحْ لِي فِي ذُرِّيَّتِي إِنِّي تُبْتُ إِلَيْكَ وَإِنِّي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan umurnya sampai empat puluh tahun ia berdo’a: “Ya Tuhanku, tunjukilah aku untuk mensyukuri ni’mat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan kepada ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang Engkau ridhai. berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan) kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”.(Al-Ahqaf: 15)

Kemudian pada beberapa ayat (An-Nisa’: 36), (Al-Isra: 23-24), dan (Al-Ankabut: 8 ) –silahkan dibuka kembali Al Qur’annya-.

Dalam Hadits disebutkan tentang keutamaan berbakti kepada orang tua,

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu berkata, “Artinya : Aku bertanya kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ‘Amal apakah yang paling utama?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Shalat pada waktunya (dalam riwayat lain disebutkan shalat di awal waktunya).’ Aku bertanya lagi, ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab: ‘Berbakti kepada kedua orang tua.’ Aku bertanya lagi: ‘Kemudian apa?’ Nabi menjawab, ‘Jihad di jalan Allah’ Hadits shahih: Diriwayatkan oleh al-Bukhari (no. 527), Muslim dalam Kitabul Iman (no. 85), an-Nasa-i (I/292-293), at-Tirmidzi (no. 173), ad-Darimi (I/278), Ahmad (I/351, 409, 410, 439).

Dari Abu Hurairah, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda, “Celaka, sekali lagi celaka, dan sekali lagi celaka orang yang mendapatkan kedua orang tuanya berusia lanjut, salah satunya atau keduanya, tetapi (dengan itu) dia tidak masuk syurga” [Hadits Riwayat Muslim 2551, Ahmad 2:254, 346]

Mendahulukan Berbakti kepada Ibunda

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, ia berkata,” Datanglah seorang pria kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam lalu berkata, ‘Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berhak atas pergaulanku yang terbaik?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’. Ia berkata ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’. Ia berkata, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Ibumu’. Ia berkata, ‘Kemudian siapa lagi?’ Beliau menjawab, ‘Bapakmu’.” (Muttafaqun’alaih)

Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin berkata tentang hadits ini bahwa hadits tersebut menjelaskan tentang orang yang paling berhak untuk menerima pergaulan yang paling baik, maka Rasulullah shallallahu’alaihi wasalam menjelaskan bahwa orang yang paling berhak atas hal itu adalah Ibu. Sekalipun pertanyaan itu diulang, namun Beliau menjawab yang kedua kalinya, “Ibu”. Demikian hingga pertanyaan yang sama dengan jawaban yang sama diulang hingga tiga kali. Kemudian setelah itu adalah ayah. Karena seorang ibu telah mengalami kelelahan dan kesulitan karena anaknya yang tidak pernah dialami oleh selain dirinya. Sebagaimana firman Allah,

“……ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah….”(Luqman: 14) dan

“……ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula)….” (Al-Ahqaf: 15)

Pada malam harinya sang ibu melindungi dan menenangkannya hingga tertidur. Jika muncul sesuatu yang menyakitinya, sang ibu tidak tidur pada malam itu hingga anaknya tidur.

Sang ibu juga menebus anaknya dengan jiwa dengan menghangatkannya jika musim dingin tiba dan mendinginkannya jika musim panas tiba dan sebagainya. Ibu lebih besar perhatiannya kepada anaknya daripada sang ayah. Oleh sebab itulah, hak ibu menjadi berlipat tiga kali dibandingkan hak ayah.

Kemudian selain daripada itu, seorang ibu adalah orang lemah sebagai wanita yang tidak mampu mengambil haknya sendiri. Oleh sebab itu, Nabi shallallahu’alaihi wasalam berwasiat berkenaan dengannya hingga tiga kali dan berwasiat berkenaan dengan ayah hanya satu kali.

Dalam kitab Fathul Baari Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani –ketika menyebutkan hadits tersebut- menjelaskan: “Ibnu Bathal berkata: “Hadits tersebut memunjukkan bahwa hendaknya seorang ibu memiliki porsi tiga kali lipat daripada porsi sang ayah dalam hal mendapatkan bakti. Hal ini dikarenakan seorang ibu mengalami kesulitan saat mengandung, melahirkan dan menyusui. Ketiga hal tersebut merupakan bagian yang hanya dirasakan oleh ibu, sedangkan ayah hanya terlibat bersamanya dalam hal mendidik dan membesarkan anak saja. Poin inilah yang yang telah disinyalir dalam firman-Nya, “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun…” (Luqman: 14). Dalam ayat tersebut, Allah Azza wa Jalla menyamaratakan antara ayah dan ibu dalam hal mendapatkan bakti dari anaknya, kemudian Allah menyebutkan secara khusus ketiga tahap yang dialami oleh seorang ibu.”

Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan: “Durhaka kepada ibu merupakan perbuatan yang diharamkan dan termasuk dosa besar berdasarkan ijma’ para ulama. Ada banyak hadits shahih yang mengkategorikan perbuatan tersebut sebagai salah satu dosa besar. Demikian pula, durhaka kepada bapak juga termasuk dosa besar. Hadits ini lebih terfokus kepada ibu karena ketulusan kaum ibu lebih kuat daripada ketulusan kaum ayah. Oleh karena itulah, ketika Rasullullah ditanya seseoarang: ‘Siapakah orang yang lebih berhak untuk mendapatkan baktiku?” Beliau shallallahu’alaihi wasalam menjawab: “Ibumu” sebanyak tiga kali, dan pada keempat kalinya Beliau menjawab: “Bapakmu”. Hal ini juga disebabkan karena sebagian besar perbuatan durhaka dilakukan terhadap kaum ibu, yaitu bahwa anak-anak lebih cenderung untuk melakukan hal itu kepada mereka.”

Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-Kabair berkata:

“Ibumu telah mengandungmu di dalam perutnya selama sembilan bulan seolah-olah sembilan tahun. Dia bersusah payah ketika melahirkanmu yang hampir saja menghilangkan nyawanya. Dan dia telah menyusuimu dari teteknya, dan ia hilangkan rasa kantuknya karena menjagamu. Dan dia cuci kotoranmu dengan tangan kanannya, dia utamakan dirimu atas dirinya serta atas makanannya. Dia jadikan pangkuannya sebagai ayunan bagimu. Dia telah memberikannmu semua kebaikan dan apabila kamu sakit atau mengeluh tampak darinya kesusahan yang luar biasa dan panjang sekali kesedihannya dan dia keluarkan harta untuk membayar dokter yang mengobatimu dan seandainya dipilih antara hidupmu dan kematiannya, maka dia akan meminta supaya kamu hidup dengan suara yang paling keras.

Sekarang mari kita tengok bagaimana sosok para salaf tentang bakti mereka kepada ibundanya untuk kita renungi bersama dan mudah-mudahan bisa kita jadikan sebagai contoh yang baik untuk kita teladani.

Kaum Salaf dan Berbakti pada Ibunda

Dari muhammadi bin Sirin, dia berkata: “Pada zaman kekhalifahan ‘Utsman bi Affan satu pohon kurma pernah mencapai harga tertinggi seribu dirham. Pada waktu itu Usamah bin Zaid bin Haritsah melukai sebuah pohon kurma dan mengeluarkan jummarnya (seuatu seperti lemak yang terdapat diujung atas pohon kurma) untuk ekmudian diberikan kepada ibunya. Orang-orang sampai terheran dan berkata kepadanya: “Mengapa kamu sampai melukai pohon kurmamu? Bukankah kamu tahu bahwa harganya sekarang mencapai seribu dirham?” Usamah menjawab: “Jika ibuku telah meminta sesuatu kepadaku maka aku tidak bisa berbuat apa-apa kecuali harus memenuhi permintaannya tersebut.” [shifatush-Shafwah (I/522)].

Dari Abdullah bin Al Mubarak, dia berkata: Muhammad bin Al Munkadir berkata: “Pada malam hari Umar mengerjakan shalat. Sedangkan aku pada malam itu sedang merawat kaki ibuku yang sedang sakit. Namun aku merasa malamku itu lebih menyenangkan daripada malamnya (yang dipebuhi dengan ibadah shalat).” [Shifatush-Shafwah (II/143)].

Ibnu Aun pernah bercerita, “Syahdan, ada seorang lelaki yang ingin menemui Muhammad bin Sirin di rumah ibunya. Pada waktu itu beliau sedang berada disisi ibunya (dalam keadaan menunduk seperti orang yang sedang sakit). Lantas orang itu bertanya, ‘Sebenarnya apa yang sedang menimpa Muhammad? Apakah dia mengeluhkan sesuatu?’ Orang-orang di situ menjawab, ‘Tidak, memang seperti itulah gaya Muhammad bin Sirin jika berada di sisi ibundanya.” [Shifatush-Shafwah (III/245)].

Dari Hisyam bin Hassan, dari Hafshah binti Sirin, dia berkata: “Diantara kebiasaan Muhammad bin Sirin jika menghadap ibunya adalah tidak berani mengajaknya bicara terlebih dahulu. Semua anggota tubuhnya menunjukkan rasa hormat kepadanya.” [Shifatush-Shafwah (III/245)].

Dari Ibnu ‘Aun dikisahkan bahwa ibunya pernah memanggilnya. Maka beliau pun menjawab panggilan tersebut. Ternyata beliau baru sadar bahwa suara sahutannya lebih keras dibanding suara ibunya. Karena itulah dia menebus kesalahannya itu dengan cara memerdekakan dua orang budak. [Siyar A’lamin-Nubalaa’ (VI/366)].

Dari Hisyam bin Hassan, dia berkata: Hafshah binti Sirin berkata, “Putraku Hudzail biasa mengumpulkan kayu bakar pada musim panas untuk dikuliti. Ia juga mengambil bambu dan membelahnya. Aku tinggal mendapatkan enaknya saja.Bila datang musim dingin, ia membawakan tungku dan meletakkan dibelakang punggungku, sementara aku sendiri berdiam di tempat shalatkku. Setelah itu ia duduk, membakar kayu bakar yang sudah dikupas kulitnya, berikut bambu yang telah dibelah sebagai bahan bakar yang asapnya tidak mengganggu, tapi bisa menghangatkan tubuhku. Demikianlah yang dia lakukan dari waktu ke waktu.“ Hafshah kembali berkata: “Jika aku hendak berpaling darinya, maka aku akan berkata: “Wahai putraku, kurasa sudah cukup. Kembalilah kamu kepada keluargamu.” Setelah itu baru aku akan meninggalkannya.

Hafshah berkata: “Ketika Hudzail akan meninggal dunia Allah memberikan rezeki kepadanya berupa kesabaran. Hanya saja aku menjumpai seperti ada sumbatan di kerongkongannya yang tidak bisa hilang. Pada suatu malam aku membaca surat An-Nahl. Aku pun sampai pada ayat berikut: “Dan janganlah kamu tukar perjanjianmu dengan Allah dengan harga yang sedikit (murah), sesungguhnya apa yang ada disisi Allah, itulah yang lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (An-Nahl: 95-96). Setelah aku membaca ayat ini aku tidak lagi menjumpai ada sumbatan di kerongkongannya seperti sebelumnya.

Hisyam berkata: “Dulu Hudzail memiliki seekor unta yang sangat banyak air susunya.” Hafshah berkata: “Putraku Hudzail selalu mengirimkan susu perahan unta itu setiap pagi. Aku pun berkata kepadanya: “Wahai putraku, sesungguhnya kamu tahu bahwa aku tidak meminum susu. Aku sekarang ini sedang berpuasa.” Hudzail berkata: “Wahai ummu Hudzail sesungguhnya susu yang paling baik adalah susu yang sudah bermalam di kantong susu unta. Oleh karena itu biarkan susu ini padamu atau berikanlah kepada orang yang kamu kehendaki.” [Shifatus-Shafwa: (IV/25)].

Abdurrahman bin Ahmad menyebutkan sebuah berita dari ayahnya bahwa ada seorang wanita yang datang menghadap Baqi. Dia berkata: “Sesungguhnya anakku sekarang ini sedang dijadikan tawanan. Aku bingung mencari jalan keluar untuk membebaskannya. Seandainya saja kamu bisa menunjukkan kepadaku orang yang kira-kira bisa menebusnya. Sesungguhnya aku sekarang ini benar-benar bingung.” Baqi menjawab: “Baiklah, menyingkirlah kamu dulu dari hadapanku sampai aku bisa menemukan solusi untuk permasalahanmu itu.”

Lalu Baqi menundukkan kepalanya dan menggerakkan bibirnya untuk berdo’a. Tidak lama kemudian wanit itu kembali datang bersama putranya. Anak yang semula menjadi tawanan itu berkata: “Tadi aku berada dalam kekuasaan Raja. Ketika itu aku disuruh bekerja, tiba-tiba besi yang membelengguku terlepas. Dia sangat ingat bahwa hari dan jam ketike terlepasnya besi itu mungkin bertepatan dengan do’a sang Syaikh (maksudnya adalah Baqi). Anak itu kembali berkata: “Lantas hal itu diberitahukan kepada penjaga. Dia kebingungan dan akhirnya memanggil seorang tukang besi. Dia kembali mengelas besiku yang lepas tadi. Namun setelah berjalan beberpa langkah, tiba-tiba besi tersebut kembali lepas. Lantas mereka memanggil para rahib mereka. Rahib-rahib itu pun bertanya kepadaku: “Apakah kemu memilki seorang ibu?” Aku menjawab: “Iya”. Mereka berkata: “Kalau begitu lepasnya besi itu bertepatan dengan dikabulkannya do’a ibumu.”

Peristiwa ini sebenarnya diberitakan oleh Al Hafizh Hamzah As-Sahmi, dari Abul Fath bin Ahmad bin Abdul Malik, dia berkata: Aku telah mendengar Abdurrahman bin Ahmad, kami diberitahu ayahku yang menyebutkan kisah itu. Didalam rangkaian ceritanya juga disebutkan bahwa para rahib itu berkata: “Allah telah membebaskan dirimu. Oleh karena itu kami tidak mungkin lagi membelenggu dirimu.” Akhirnya mereka memberiku bekal untuk kemudian mengrimku pulang kepada orang tuaku.” [Siyar A’lamin-Nubalaa’ (XIII/290)]

Malam hari, 27 Rajab 1429 H

(maafkan anakmu yang durhaka yang jarang meneleponmu, ibu)

Kutip sana-kutip sini dari :

1. Aina Nahnu min Akhlaaqis Salaf edisi terjemahan Dimana Posisi Kita pada Kalangan Salaf , Pustaka Azzam, 2001

2. Berbakti Kepada Orang Tua Kunci Kesuksesan dan Kebahagiaan Anak ,Irsyad Baitus Salam, 2006

3. Syarah Riyadusshalihin oleh Syaikh Utsaimin jilid ke-2, Darul Falah, 2006

4. Berbakti Kepada Kedua Orang Tua oleh Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas, terbitan Darul Qolam – Jakarta

5. Bulletim Muzakki, No.07 Th.4 Juli 2008

1.

3 Responses to Bakti kepada Ibunda

  1. Desy says:

    ASsalamualaikum Wr. Wb

    SubhanaAllah, cerita di atas sangat menggetarkan Jiwa…smoga apa yang kt smua baca menambah ilmu n merubah dari skg sikap tercela kt kpd ke 2 orangtua…khususx dgn IBU!!!Mgk saya lah orang yang pertama yg sangat berdosa dgn ibu saya,karna sy tdk pernah mensyukuri memiliki ibu sprt dia pdhal dia ibu yg sangat baik…itulah sft terjelek yg sy miliki..smoga Allah senentiasa memberikn Rahmat buat saya & JG PARA PEMBACA SKALIAN.aMINNN!!!

  2. harmanto says:

    padamu ibu……doa dan pengharapan

  3. Marwan says:

    Semoga kita diberkahi, jiwa yang selalu berbakti kepada ummi dan abi, hingga kelak mereka berbahagia disana. Insya Allah Ta’ala…….

Leave a comment