Jangan tanya berapa usianya, karena sejak lahir, ia tidak pernah dibuatkan selembar surat bernama Akta Kelahiran oleh kedua orang tuanya di kampung. Ia lahir dan besar di Kabupaten Jeneponto Sulawesi Selatan. Allah mengaruniainya banyak anak. Karena himpitan ekonomi yang mendera ia dan mendiang suaminya memilih hijrah ke kota Makassar, mencoba peruntungan nasib. Guratan usia dan himpitan ekonomi terlihat jelas di wajahnya yang sepertinya tak pernah tersentuh bedak, apalagi lipstik dan wangi-wangian.
Sudah cukup lama ia hidup sendiri, tidak jauh dari perempatan jalan Urip Sumohardjo dan A.P. Pettarani, Makassar. Anak-anaknya, setelah berkeluarga, pergi meninggalkan. Tak ada lagi yang peduli. Dalam kesendiriannya, ia tak mau berpangku tangan apalagi bermalas-malasan. Haram baginya menengadahkan tangan, meminta belas kasihan orang lain, meski hal itu bisa saja dilakukannya. Ia memilih bertahan hidup dengan menjajakan jagung bakar bagi para pengguna jalan. Sebuah nampan lebar, sebotol minyak tanah dan tumpukan kayu bakar tua setia menemaninya. Ia berjualan tak jauh dari rumah reotnya, karena kedua kakinya yang lumpuh, tak mampu lagi menyanggah beban tubuhnya yang mulai renta.